JAKARTA - Meski ekspor minyak sawit mentah (CPO) Indonesia kian tergerus, komoditas ini belum tergoyahkan sebagai penopang utama surplus neraca perdagangan nasional.
Ketum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menegaskan posisi sawit masih vital dalam perekonomian Indonesia.
Dalam webinar INDEF Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation, Senin (22/9/2025), ia memaparkan kontribusi ekspor sawit yang memang menurun, namun tetap dominan dalam perdagangan.
“Kontribusi ekspor CPO terhadap total ekspor Indonesia turun dari 15 persen pada 2023 menjadi sekitar 10 persen di 2024. Tapi sawit masih jadi penopang utama surplus neraca dagang,” ujar Eddy.
Produksi sawit nasional belakangan cenderung stagnan. Pada 2023 sempat mencapai 54 juta ton, lalu turun menjadi 52 juta ton pada 2024. Di sisi lain, konsumsi dalam negeri terus meningkat seiring kebijakan mandatori biodiesel.
Dari 21,1 juta ton pada 2021, konsumsi naik menjadi 23 juta ton di 2022, lalu 24 juta ton pada 2023. Kebutuhan biodiesel kini bahkan melampaui kebutuhan pangan.
Trend ekspor pada 2024 ikut tertekan. Harga CPO relatif lebih tinggi dibanding minyak nabati lain, sehingga konsumen global memilih beralih. Namun pada 2025, harga sawit kembali kompetitif meski selisihnya makin tipis.
China masih menjadi tujuan ekspor terbesar, disusul India, Afrika, Uni Eropa, Pakistan, dan Amerika Serikat. Pasar India—yang semula strategis kedua setelah China—menunjukkan penurunan sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025.
“India dengan konsumsi minyak nabati hampir 25 juta ton per tahun masih menjadi pasar utama. Dari impor 18,8 juta ton pada 2024, sekitar 4,4–4,8 juta ton berasal dari Indonesia,” kata Eddy.
Secara global, produksi minyak nabati mencapai 230 juta ton, dengan sawit menyumbang 37,4 persen. Indonesia sendiri berkontribusi 21,8 persen atau sekitar 57,5 persen dari total produksi sawit dunia.
Dari sisi ekspor, Indonesia menguasai 50 persen pangsa pasar, jauh melampaui Malaysia yang hanya 30 persen.
Namun, jalan industri sawit nasional tidak mulus. Konflik lahan, regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR), hingga penertiban oleh Satgas Sawit masih membayangi.
Eddy menegaskan GAPKI mendorong kepastian hukum bagi pelaku usaha, terutama perusahaan yang sudah mengantongi sertifikat hak guna usaha (HGU) maupun hak milik. (zan)